Di muka pintu masih
Bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
Tapi ada yang mereka tak mengerti
- mengapa ia diam waktu berpisah.
Bahkan tak ada kesan kesedihan pada muka dan mata itu, yang terus
Memandang, seakan mau bilang dengan bangga:
- Matiku muda-
Ada baiknya
Mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya.
Di ujung musim yang mati dulu
Bukan yang dirongrong penyakit tua,
Melainkan dia
Yang berdiri menantang angin
di atas bukit dan dekap pantai
Dimana badai mengancam nyawa
sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman kota
Tempat anak-anak main layang-layang
Di jam larut, daun ketapang makin lebat berguguran di luar rencana.
Dan kematian makin akrab,seakan kawan berkelakar
Yang mengajak tertawa-itu bahasa semesta yang dimengerti
Berhadapan muka seperti lewat kaca bening
Masih dikenal raut muka,
Bahkan kelihatan bekas luka dekat kening
Ia menggapai tangan
Di jari melekat cincin
-Lihat tak ada batas di antara kita.
Aku masih terikat kepada dunia
Karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
Gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam perpisahan,semua pulih,
Juga angan-angan dan selera keisengan—
Di ujung musim
Dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah cilik tak lagi sedih karena laying-layangnya
robek atau hilang
-Lihat bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit–